Satu orang yang saya cari-cari dari hari pertama saya menginjakkan kaki di Maros, dialah Sang Baco, yang menurut saya adalah blogger unik saat acara Kopdar Blogger Nusantara berlangsung di Sidoarjo. Malam itu kami diajak Blogger Maros untuk bertandang ke Kafe kopi di tepi sungai Maros, tempat mangkalnya para blogger Maros sehari-harinya.
Sekadar untuk diketahui bahwa kafe di Maros dan Makassar merupakan tempat favorit untuk nongkrong dan kongkow-kongkow, jumlahnya pun tak terhitung. Menjadi tempat favorit untuk nongkrong karena setiap kafe kopi memiliki fasilitas wifi untuk berselancar di dunia maya. Nongkrong di kedai kopi berjam-jam sambil mengerjakan tugas kuliah menjadi pemandangan yang lumrah, tak salah jika kemudian Makassar dan Maros diberi julukan Kota Kafe.
Kafe Dg. Te’ne, saya lebih suka menyebutnya dengan Kedai "Kopi Tepi Sungai Maros", menjadi tempat bersejarah yang pernah saya singgahi. Sabtu malam pascaresepsi pernikahan Rahmah-Rony, kami menghabiskan malam di sana. Di antara penerangan kedai yang tak terlalu terang, saya melihat sosok Uak Sena sedang serius di depan laptopnya, di meja seberang, kulihat sosok tak asing yang sejak hari sebelumnya sudah saya cari-cari tapi tak nongol juga. Bergegaslah saya menjumpai Sang Baco yang kebetulan mengetahui kehadiran saya. Seolah kawan lama yang tak bersua, kami pun berpelukan melepas rindu, kehangatan persaudaraan kurasa.
Meja kursi kami tata untuk kenyamanan pertemuan dua komunitas blogger, Surabaya dan Maros. Kami bertukar informasi seputar kabar dan keadaan wilayah masing-masing. Deskripsi singkat tentang Kafe Daeng Te’ne menjadi awal pembuka perbincangan kami, istimewanya, kami hadir di hari sabtu malam di mana ada suguhan Live Music. Perbincangan awal kami disela oleh penampilan sang Baco yang membawakan lagunya Iwan Fals dan lagu barat, dua-duanya saya lupa judulnya meskipun akrab dengan lagunya karena memang populer di masa pertumbuhan saya saat remaja. Saya terusik untuk mengabadikan "perform" dari Sang Baco yang sengaja ia tujukan dan persembahkan untuk Blogger Nusantara.
Setelah menyanyi, kami pun terlibat perbincangan, sang baco menghadiahi kami buku hasil karyanya tentang kearifan lokal Maros yang dieditori dosennya sendiri, Uak Sena yang bernama asli Muhammad Zainal Hasyim, sepintas dari judulnya memang karya ilmiah, namun gaya bahasanya sastra banget. Dari buku melebar ke memori kuliah Sang Baco yang “protes” diberi nilai C oleh Uak Sena, mengalirlah sudah humor-humor rame kisah kedua sesepuh Blogger Maros ini. Perdebatan lucu, renyah, antara guru budayawan dan dosen akademisi.
Dari sini kami bicara budaya lokal, dari contoh kasus Rahmah-Adi, Maros-Surabaya, kami bicara tentang pernikahan, tentang ubo rampe yang menyertainya. Tentang budaya uang panaik, tentang Mappaccing, tentang pengalaman personal Uak Sena sendiri saat menikah ditambah dengan bakal desertasinya terkait budaya lokal tersebut.
Uang panaik, merupakan uang penyerta yang dibawa calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang bagi sebagian besar orang dirasa cukup memberatkan jika tidak boleh dibilang sangat memberatkan. Angka yang beredar di kalangan masyarakat lumayan tinggi, puluhan juta, tergantung dari status sosial perempuan yang bersangkutan, semakin tinggi status sosial semakin tinggi uang panaiknya, dan ini berbeda di luar dari mahar pernikahan. Di Jawa mungkin sepadan dengan uang belanja yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk acara resepsi pernikahan meski tak sama persis.
Saya sendiri menangkap kesan dari obrolan Irfan dan Ansari bahwa bagi mereka berdua yang asli Maros merasa diberatkan. Terlebih pada "lepasnya makna" uang panaik itu sendiri dari perilaku sosial masyarakat pelakunya. Mereka melihat tradisi uang panaik lebih mengarah pada gengsi keluarga daripada sebagai “jaminan” kenyamanan keluarga perempuan untuk melepasnya menjadi bagian keluarga lain. Jaminan dimaksudkan bahwa keluarga perempuan merasa yakin benar bahwa anak gadisnya mendapatkan orang yang tepat untuk melindungi, mengayomi sepanjang hidupnya dengan kemapanan materi dan itu prasyarat minimal. Kemapanan materi.
Berdasarkan penuturan Uak Sena lah saya mendapatkan penjelasan yang secara logika terterima dengan kelayakan yang sepadan dari makna "uang panaik". Bahkan di beberapa keluarga Maros-Makassar, ada perubahan pelan tapi pasti menempatkan "uang panaik" sebagai bekal kehidupan kedua mempelai kelak pascapernikahan. Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan bahwa orang tua prapernikahan sengaja "meminta" uang panaik dengan jumlah yang lumayan tinggi, namun pascapernikahan, uang panaik yang tinggi tersebut justru diserahkan pada kedua mempelai sebagai bekal kehidupan mereka berdua kelak. Sampai di sini saya merasakan kelegaan dan merasa bahwa esensi "uang panaik" menemukan fase baru dalam implementasinya yang justru menguntungkan kedua belah pihak. Pihak keluarga perempuan terlihat arif bijaksana mempersiapkan masa depan anak perempuannya.
Sebuah perspektif yang mencerahkan saya temukan di kedai kopi. Perbincangan kami menjadi satu pertemuan budaya yang benar-benar menemukan maknanya.
Terima kasih atas perjumpaannya.
30 April 2012
Journey to Maros-Makassar: Menemukan Indonesia di Sebuah Kedai KopiTepi Kali Maros
Posted by Abdul Ghofur on Senin, April 30, 2012 in Budaya | Comments : 2
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
mendengar nama kopi membuat saya jadi penasaran..
BalasHapusseberapa enakkah kopi disana..???
Enak banget, bro.
BalasHapus