Senja itu (4/11) di tebing Breksi Yogyakarta, aku -yang blangkonan- berkesempatan foto bertiga dengan Alea dan Ukaz, anak didikku 12 IPA-5 yang mana aku adalah walikelas mereka. Bersama rombongan SMA Negeri 11 Surabaya kami menjelajahi Yogya dua hari. Tebing Breksi merupakan destinasi wisata terakhir yang kami kunjungi sebelum balik ke Surabaya.
Wong Blangkonan, tampaknya akan menjadi sebutan yang keren kalau aku mampu konsisten mengenakannya. Identitas kejawaanku mengemuka. Membranding diri dengan blankon itu lumayan sulit loh.
Sebenarnya aku pakai blangkon bukan yang pertama kali. Sebelumnya pernah kulakukan di beberapa even seremonial tentunya tapi untuk keseharian sih tidak. Nah, feel-nya baru dapat akhir-akhir ini. Pasca meninggalnya Kung Asep tetangga senior yang seniman itu, aku mewarisi dua blangkon beliau yang lama tak terpakai. Daripada dibuang percuma aku pungut saja. Menjelang 40 hari, 6-7 hari berturut-turut aku pakai blangkon beliau dengan harapan aku bisa mengenangnya dan juga barang peninggalannya bermanfaat. Dengan begitu, jariahnya mengalir ke beliau. Alhamdulillah keterusan.
Tepat 40 hari beliau meninggal dunia, aku ke Yogya. Tentunya blangkon beliau rencana kubawa dan kupakai selama perjalanan. Tapi, apa daya, kesibukan menjelang keberangkatan tak bisa dihindari. Blangkon yang siap di atas meja lupa terbawa.
Akhirnya, ke Yogyakarta tanpa blangkon. Malamnya, di Teras Malioboro Yogyakarta aku beli satu blangkon khas Yogyakarta. Sementara blangkon warisan Kung Asep itu Blangkon Solo kalau tidak salah. Jadilah aku Wong Blangkonan di hari kedua wisata Yogyakarta bersama anak-anakku.
Posting Komentar