11 Januari 2009
[Resah 4]: Ideologi, Agama dan Tuhan di bawah ketiak Senjata
Posted by Abdul Ghofur on Minggu, Januari 11, 2009 in Internasional | Comments : 0
Krisis ekonomi global yang melanda hampir seluruh negara di belahan dunia manapun menjadi topik yang paling hangat dan menjadi pembicaraan media massa beberapa bulan terakhir Tahun 2008. Kebangkrutan bank investasi terkenal Lehman Brothers yang dikhawatirkan memunculkan efek domino benar-benar menimbulkan krisis luar biasa terutama bagi negara berkembang. PHK sebagai sebuah solusi penyelematan perusahaan menjadi kekhawatiran tersendiri di Indonesia di penghujung 2008.
Amerika kini dilanda krisis luar biasa, defisit anggarannya yang menembus rekor baru ini membuat pusing Bush yang tinggal menghitung hari terakhirnya. Diakui atau tidak, super power dunia ini butuh 'juru selamat' dari kebangkrutan ekonomi yang menghadangnya.
Amerika butuh dana segar untuk memulihkan kembali perekonomiannya. Analisis dangkal 'becakan' pinggir jalan dengan mudah bisa menangkap pesan besar dari konflik Timur Tengah yang sekarang marak di Media Massa. Invasi israel di penghujung tahun 2008 ke Palestina bukanlah perang ideologi atau agama dengan membawa nama Tuhan. serangan membabi buta Israel ke penduduk sipil Palestina yang lebih tepat dikatakan sebagai Genocide adalah 'bonus purna jabatan' Bush dari bisnis penjualan senjata Amerika.
Terlihat dengan jelas saat sidang dewan keamanan PBB di mana semua negara memaksa gencatan senjata, justeru Amerika memilih abstain. Esoknya, pasokan senjata Amerika dikirim langsung ke Israel. Amerika jelas memelihara konflik Timur tengah untuk menjaganya dari kebangkrutan.
Semenjak berakhirnya perang dingin di penghujung 90-an, praktis amerika tidak punya musuh sebanding. Sementara investasinya di militer sudah terlanjur memboroskan anggaran negara dan dalam pandangan bisnis jelas merugi, karena untuk sampai pada impas saja sudah susah. Pemasukan jelas berkurang bahkan membebani negara jika pasokan persenjataan yang mereka miliki tak laku di pasaran.
Dampaknya bisa diduga, dengan isu demokrasi, Amerika menciptakan kerusuhan di mana-mana agar senjatanya laku. Negara-negara yang masih dipimpin oleh diktator monarkhi atau militer atau apa saja namanya, akan diserang habis-habisan selama tidak mendatangkan keuntungan bagi lakunya senjata mereka.
Dan ternyata, isu demokrasi yang mereka usung harus mereka muntahkan kembali ketika Hamas menang mutlak melalui pemilu 2006. Amerika tak mengakui kemenangan Hamas yang diraih melalui pesta demokrasi secara elegan. Mengakui kemenangan hamas dan berdamai dengannya sama sekali tak menguntungkan Amerika.
Pertanyaan berikutnya adalah kenapa konflik Timur Tengah dipelihara oleh Amerika? Jelas jawabannya, Konflik Timur Tengah menjadi lahan subur demi lakunya persenjataan mereka. Pembantaian manusia di berbagai negara di belahan Afrika sana setiap hari terjadi, tapi tidak begitu mendapat perhatian media massa internasional hanya karena secara ekonomi kurang menjual, kurang mendapat sentimen publik internasional. Dibandingkan dengan Timur tengah, jelas kalah jauh. Dengan sekali sulut, sentimen publik dunia tersedot ke sana karena mengangkat isu paling sensitif, yaitu: ideologi, agama dan Tuhan.
Dengan kecamuk Timur Tengah, militan-militan muslim di berbagai penjuru dunia tergerak untuk melawan. Afghanistan jelas akan semakin tinggi geliat perangnya, Pakistan, Bangladesh, Moro Filipina, Jaringan Al-Qaidah akan semakin tinggi intensitas perangnya. Semakin banyak perang, semakin untung Amerika.
Jadi, perang Israel-Palestina bukan semata-mata konflik 3 agama atau konflik ideologi an sich. Di atas itu semua, Bush ingin dapat 'pesangon' di akhir masa jabatannya yang tak mungkin ia dapatkan dari anggaran resmi negara yang sedang di ambang kebangkrutan. Minimal 1 bulan konflik Timur Tengah sudah bisa digunakan untuk pensiun dan untuk pencalonan anaknya, Bush double Jr. dua periode lagi.
Setelah itu, mari ber-sholawat untuk kedamaian umat manusia di bumi.
Catatan Akhir: Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang emosional di mana sentimen agama bermain kental, sementara tulisan ini merupakan perimbangan dan tentunya tidak menafikan kejujuran sentimen emosional saya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar