BREAKING NEWS

30 November 2007

Untuk Sang Kenangan [bag. 3]



[Episode: Hari Tercerah di Musim Penghujan]

Mendung masih saja menggelayut, butir-butir air menetes jatuh dari langit, aku dan kau duduk di beranda. Duduk di bawah beralas tikar. Semilir angin dingin menyentuh dan membelai tubuh kita.  Kunikmati secangkir kopi untuk sekedar menghangatkan tubuh dan mengurangi galaunya hati dan jantung yang berdegup kencang.

Ternyata aku salah besar. Kopi buatanmu semakin memompa detak jantungku. Aku gelisah malu dan salah tingkah di hadapanmu. Kau begitu tenang, bahkan tanpa ekspresi.

Satu tujuanku mendatangimu kala itu, ingin kukatakan padamu bahwa aku sangat mencintaimu.

Tapi, sepertinya engkau sudah tau maksud kedatanganku. Engkau tetap seperti biasa menerimaku tanpa perubahan yang mencolok, tak seperti diriku yang salah tingkah dan gelisah. Sebentar selonjorkan kaki, sebentar kemudian bersila kembali, kadang seperti orang nyangkruk atau ngangkring, sementara kau hanya tersenyum *mungkin geli * melihatku.

Masih ingatkah kau?! Ketika hendak kukatakan cinta yang keluar dari lubuk hati terdalamku, kukatakan: “Akuuu.. emmhh…”, dalam keraguan dan ketakutan tertolak, sesuatu menyengat tenggorokanku. Mungkin wajahku pucat pasi di depannya, keringat dingin mulai membasahi krah bajuku. Aku coba teruskan kalimatku, mataku seperti memelas menyampaikan pesan rahasia yang tak terungkap, entah, tiba-tiba kau tegakkan telunjukmu di depan bibirku dan kau katakan dalam lirih: “Aku sudah tau. Jangan mencederainya dengan mengatakannya!…. Cukup kita rasakan dan biarlah ia mengalir mengisi hari-hari pendek yang kita miliki…. Percayalah, aku mengerti betul apa yang kau dan aku rasakan, tak perlu kau katakan. Aku takut kita tak mampu menyangganya!… Aku menerimamu apa adanya sebagaimana dirimu menerimaku selama ini..”

Entah dorongan dari mana, jantungku seperti berhenti berdetak, aku merasa melesat menembus mega-mega, terbang di gumpalan awan dan akhirnya jatuh tersungkur, sujud di atasnya. Benar-benar dunia dalam genggamanku. Lemas sudah seluruh persendianku, kelegaaan, keluasan memenuhi ruang hatiku. Aku terkulai bersandar dinding menatap sungging senyum di ujung bibirmu.

Sekali lagi, aku tenggelam dalam pesona kearifanmu.

Hari-hari setelah itu sungguh hari-hari yang paling membahagiakan untuk kita berdua, dengannya kita mampu menepis semua derita. Kita habiskan waktu-waktu dengan diskusi dan canda. Kita bicara cinta, dari Plato hingga tragedi Kahlil Gibran. Kurasakan kekuatan pikiranmu di sela lembutnya rasa dan garis tegas pemisah antara kau dan gadis seusiamu. Aku tenggelam dalam cintamu.

Kita mendiskusikan bagaimana Shakespeare dengan ’hamlet-nya menyihir eropa. Engkau masih sejalan denganku. Tapi, aku begitu terkejut, kulihat tatapan sinismu saat kuceritakan jalan cinta Romeo dan Juliet. Kudengar dengan jelas komentar singkatmu. “Sampah!”. Aku tersentak kaget, bagaimana mungkin seorang yang kukenal begitu arif dan bijak serta dewasa sepertinya mengeluarkan kata-kata sinis dan pedas. Bagiku sangat menusuk, kukatakan padanya: “Maksudmu?!” Kulihat bibirmu lirih mengatakannya, “Entahlah, aku merasa sangat picisan cintanya, perjuangannya layak mendapat pujian dan hujan air mata sedunia, tapi, untuk endingnya, kurasa terlalu naif, sayang perjuangan seberat itu harus diakhiri dengan kebodohan”.

“Tidakkah kau melawan arus dunia?” aku menyela.

“Peduli apa pada pandangan dunia tentang pendapatku, aku setuju atau menolak atau simpati tak ada pengaruhnya. Percayalah, tak ada resiko melawan mainstream dalam hal ini.” Katanya dengan penuh santun dan bijak.

Aku semakin kagum padamu, capek bicara shakespeare, kita bicara tentang filsafat keindahan milik M.Iqbal, sastrawan pakistan yang heboh dengan paham bersatunya India dan Pakistan, tak jauh darinya, kita bicara Rabindranath Tagore dengan Gitanjali-nya. Ah, kau sungguh teman bicara dan diskusi yang luar biasa, bukan hanya karena cintaku padamu, tapi, luasnya wawasanmu membuatku mengukuhkan diri sebagai pangeran paling bahagia di dunia.


Aku tenggelam dalam lautan cinta

Aku mabuk asmara luar biasa

Engkau meninggalkan selaksa keindahan, pesona dan keagungan…

Aku menunggumu dalam hujan…


[bersambung]

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © 2014 Gempur Abdul Ghofur. Designed by OddThemes