Sabtu, 9 Desember 2006 - BAGIAN II
Aku katakan, pernah aku menangisi kematian seorang bunda Theresia. Dan bukan main hingga terbawa dalam sholatku. Aku tangisi kematiannya saat pelajaran sastra mengarah filsafat masih begitu segar mengalir dalam pori dan aliran darahku. Yang kutangisi bukan karena kematiannya, yang kutangisi adalah sebuah pertanyaan mendasar, “Tuhan, apakah orang sebaik bunda Theresia akan Kau jebloskan ke dalam neraka? Mengingat bunda Theresia bukan seorang penganut Islam? Apakah perbuatan baik selama hidupnya terhapus tanpa sisa hanya karena ia tak hanya menuhankan-Mu? Benarkah ia tak menuhankan-Mu?”
Aku lanjutkan ceritaku pada keduanya, pertanyaan itu wajib terjawab. Pencarian yang mungkin dengan jawaban dangkal, tapi cukup membuatku berhenti menangisi kematiannya? Aku tanyakan balik pada keduanya, dari semua agama yang kita kenal, siapakah Tuhan tertinggi? Bukankan Allah, Sang hyang Widi Wasa, Sang Hyang Jagad Batara, Sang Hyang Wenang, Allah/Bapa di Surga kesemuanya tak berwujud! Allah yang dalam bahasa arab bentukan dari kata al dan Ilahu bermakna “Yang disembah”, “Yang Dipuja”, “Yang Serba Maha”. Apa makna ini semua? Apa relevansinya? Artinya, pada prinsipnya, pada tataran hakikatnya, semua agama memiliki Tuhan Yang Tak Berupa, Tak Berbentuk dan Tak Berwujud. Lantas di mana perbedaannya? Perbedaan yang menjadi jurang pemisah adalah pada tuntunan syariatnya.. Tuntunan syariat yang membuka peluang interpretasi manusia dan membentangkan jarak satu sama lain.
Aku katakan pada keduanya, tentang Gibran yang menyatakan dalam karyanya, ia menceritakan seorang sufi kristen yang menjawab pertanyaan seorang pemuda yang sedang mencari Tuhannya. Singkat cerita, ia katakan, “Allahu Ahad”. Jawaban yang mencengangkan dari seorang kristiani yang menganut trinitas.
Mungkin Allah memberiku jawaban melalui sastra yang saat itu aku tekuni. Hatiku berdo’a, Mudah-mudahan bunda Theresia tergolong salah seorang sufi yang mengesakan Tuhan walaupun beragama selain Islam. Tak cukup sampai di situ, aku cari referensi-referensi baik dalam bentuk buku maupun dalam pembicaraan dengan banyak teman. Dalam pada itu, aku masih yakin dengan Tauhid hingga hari ini. Dan konklusi yang kupegang hingga kini bahwa siapa saja, agama apa saja, yang memgang keyakinan dalam hidupnya bahwa Tuhan itu Satu maka ia berhak mendapatkan tiket bertemu dengan-Nya di surga.
[Ampuni aku Ya Allah, jika aku salah!!!.]
Pun, aku ceritakan pada keduanya, bukankah setiap rasul mengembang misi ketauhidan? Dan bukankah mereka juga mengemban misi kemanusiaan? Bukankah kerasulan Muhammad hanya agar jin dan manusia menyembah kepada Tuhan Yang Esa, sekaligus bahwa tidaklah ia diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia?
Maka aku tegaskan padanya, bahwa poin penting yang aku pegang sekarang adalah
1. Bahwa misi kenabian Muhammad yang utama dari sekian banyak misinya adalah Misi Ketuhanan, bahwa Tak ada Tuhan Selain Allah Tuhan Yang Esa, mengarahkan manusia kembali untuk mengesakan Allah, mengenalkan kembali manusia kepada Tuhan yang sebenarnya, melepaskan jerat-jerat kebendaan/kemakhlukan dari Tuhan
2. Misi keduanya adalah Misi Kemanusiaan, bahwa Muhammad menyerukan untuk memanusiakan manusia, memberi pakaian adab dan moral kepada mamalia berakal ini. Akhlak mulia yang mampu mengantarkan manusia menjadi khalifah dan memakmurkan bumi.
3. Bahwa untuk mampu menuju ketauhidan dan kemanusiaan perlu ada syariat-syariat (jalan yang harus ditempuh) untuk mencapai hakikat dari kedalaman ketauhidan dan kemanusiaan. Dan Muhammad adalah contoh ideal dalam pelaksanaan syariat mencapai hakikat tertinggi.
Lantas, jika di level syari’at terjadi kesemrawutan perbedaan yang luar biasa, menjadikan kita saling membunuh antar sesama, mengkafirkan satu dengan lainnya, menajiskan dan mengharamkan kita bergaul dengan lainnya, maka kita perlu bertanya kepada pada diri kita, pantaskah kita disebut manusia....?
Sudahlah, jika memang di ketauhidan kita tak bisa bertemu sejajar sebanding se-ide, maka sebaiknya kita sejajar, sepaham bahwa sesama manusia itu tolong menolong menegakkan kemanusiaan.
Lebih-lebih lagi jika kita seagama, beda fikih dan syariatnya, tak perlu marah-marah, tak perlu curiga, bukankah hidup berdampingan, tolong menolong meringankan beban sesama itu lebih membahagiakan dan itulah surga dari pada saling membenci, menjatuhkan, apalagi terserang hasrat berkuasa, iri, dengki. Bukankah itu neraka yang tak pernah membuat kita tenang menjalani hidup?
Aku pun mengutarakan apa yang selama ini aku keluh kesahkan, bagaimana kecenderungan hidup manusia sekarang yang sudah demikian marak menggugat sumber kebenaran. Bagaimana aku dibuat bingung sedemikian rupa karena keterbatasan IQ-ku menelaah setiap perkembangan yang ada. Jika memang agama sudah tak lagi dipercaya sebagai sumber nilai, jika sudah tak ada aturan lagi yag bisa dipercaya untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, ke mana kita akan menanyakan?
Jawabannya adalah nurani kita. Nurani atau qolbun salim tak pernah berkata bohong. Karena semua manusia diberi cetakan yang sama. Bahwa hati nurani manusia diberi bekal satu suara kebenaran yang sama. Dan menurutku itulah kebenaran universal.
Salah seorang adik yang muridku itu bertanya, apa contoh kebenaran universal, aku jawab yang semoga tidak salah, ”reaksi apa yang bakal terjadi ketika kamu melihat seorang anak kecil ditampar oleh orang dewasa?” jawabnya ”kaget, marah”. Aku katakan padanya, ”Apakah reaksi yang sama akan muncul jika yang melihatnya orang eropa, orang amerika atau bahkan orang pedalaman afrika yang mungkin belum tersentuh peradaban modern?” jawabnya ”ya, mereka pasti marah”. Kataku, ”itulah kebenaran universal, tanpa melihat kesalahan si anak kecil itu, siapa pun pasti marah, mungkin kemarahan kita mereda setelah tau kesalahan anak kecil itu apa, itu setelah pertimbangan akal yang bermain”. Banyak sekali contoh kebenaran universal, misal lain lagi, di masyarakat manapun, mengambil barang hak orang lain dengan cara paksa adalah kejahatan, demikian pula membunuh dan lain-lainnya.
Obrolanku dengan keduanya tak terasa hingga jam satu siang,
Kembali ke Tentangku [1]
in the life canyon
BalasHapusi was found someone who i calling ORANGE
i saw something interesting from his eyes
he can made me felt that I AM LIFE
THANX TO MISTER GHOFUR
YOU ARE MY BIG TEACHER
assalamualaikum
BalasHapusTHANX 4 your comment...
I've ever known your son's name b4...
maybe it just a trash 2 you
but.....
Azzura is my secret name in the deep of mind
..............
if i had have much time i would 2 know you MORE>>>
Mencintai Azzura memang tak terkira...
BalasHapusNASTRA AZZURA bagiku bukan apa-apa, kecuali dengan makna sebagai ANAK SASTRA LANGIT...
Mencintai sastra adalah kebijaksanaan
Mendalaminya adalah keberanian
dan melahirkan SASTRA dalam bingkai LANGIT adalah keagungan
JIKA SAJA KUMAMPU, AKAN KURENGKUH SEJAK DULU!